Rabu, 28 Oktober 2009

Manusia : Pengelola Dunia, Bukan Penguasa Dunia





1. Pengantar

Salah satu tantangan aktual yang dihadapi oleh manusia saat ini adalah masalah lingkungan hidup : global warming, berbagai bencana alam, kekeringan, dll. Situasi harmoni semesta terasa makin semrawut. Bagaimana situasi ini mau digali dalam perspektif iman kristiani? Di mana                                          peran manusia? 

2. Pokok bahasan

Dinamika alam semesta bisa dianalogikan dengan dinamika suatu ekosistem. Dalam sebuah ekosistem, terdapat berbagai macam unsur. Di antara semua unsur yang membentuk ekosistem tersebut terjalin hubungan kesaling-tergantungan. Ketiadaan satu unsur tertentu akan mengganggu keseimbangan seluruh ekosistem. Dengan demikian, mempertahankan kelangsungan hidup ekosistem beserta seluruh unsurnya berarti mempertahankannya dalam seluruh keanekaragaman itu. Hidup tidak bisa dilestarikan kalau hidup itu dimiskinkan.

Dalam situasi aktual dunia saat ini, khususnya dalam hal permasalahan lingkungan hidup, Gereja – para pengikut Kristus – mendapatkan panggilan khasnya. Bagaimana hal ini mau dijelaskan ? Kerangka gagasannya adalah sebagai berikut :
a) Gereja berusaha menghadirkan Keselamatan Allah secara konkret. Maka, Gereja yang berada di tengah dunia dipanggil untuk melibatkan diri dalam pembangunan hidup dunia, manusia dan segala yang melingkupinya.
b) Ketika mulai melibatkan diri dalam persoalan konkret hidup manusia dan dunianya (bumi), Gereja berhadapan dengan masalah lingkungan hidup.
c) Masalah itu adalah permasalahan global dan perlunya kerja sama seluas dunia. Maka, Gereja dipanggil untuk membuka diri, melibatkan diri dalam kancah kerjasama dengan kelompok lain untuk menemukan prinsip dasar yang sama dan mengembangkannya.

Hal itu akan dijelaskan dengan pertanyaan pokok :
a) Hidup macam apa yang harus dilestarikan?
b) Bagaimana hidup semacam itu mau dipelihara?
c) Bagaimana teologi kristiani mau merefleksikan persoalan ekologi ini?


Arti Hidup
Hidup mempunyai berbagai macam arti tergantung dari sudut pandang masing-masing ilmu. Secara biologis, ‘hidup’ berarti kompleksitas keberadaan entitas-entitas yang dikarakterisasikan dengan kapasitasnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas fungsional tertentu : metabolisme, pertumbuhan, reproduksi dan adaptasi. Lebih lanjut, ‘hidup’ dikarakterisasikan dengan adanya transformasi kompleks dari molekul-molekul organik serta adanya rangkaian organisasi molekul-molekul tersebut menjadi unit yang lebih besar : protoplasma, sel, organ, dan organisme. (Encyclopaedia Britannica : 2006)

Interaksi, interrelasionship dan biodiversity
Hubungan dengan yang lain adalah ciri khas organisme. Saling interaksi antar organisme tersebut membentuk ekosistem. Interaksi dan kompleksitas hubungan mereka menunjukkan apa yang dimaksud dengan biodiversity (: keanekaragaman hidup/hayati). Karena antar organisme saling berinteraksi, muncullah struktur dalam ekosistem dan terciptalah rantai makanan, jaring makanan, kerja sama (: simbiosis), dan jaringan interaktif lainnya. Hubungan ini berubah-ubah sepanjang masa evolusi karena tiap spesies saling beradaptasi satu sama lain, dan juga dengan ekosistemnya, untuk mencapai keseimbangan. Planet bumi dianggap sebagai salah satu bentuk komunitas hidup yang berciri saling tergantung dan memiliki keseimbangan yang hampir-hampir tak terasakan. (William Chang : 2000)

Posisi manusia dan krisis lingkungan hidup
Manusia adalah bagian dari ekosistem. Ia tidak bisa hidup tanpa peran unsur-unsur ekosistem yang lain. Antonio Moroni membagi latar belakang sejarah hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya menjadi tiga tahap penting, yaitu masa keseimbangan alam, masa ketidakseimbangan alam dan masa sekarang. Pada zaman paleolitikum, manusia belum mengenal dunia pertanian. Ia menggantungkan diri pada alam. Alam mengontrol manusia khususnya menyangkut sumber-sumber yang diperlukan manusia untuk hidup dan berkembang. Ada dua perubahan kultural yang menimbulkan keretakan keseimbangan antara manusia dan lingkungan alam : revolusi neolitikum (manusia mengubah lingkungan alam tanpa membahayakan proses dan fungsi alam) dan revolusi industri (manusia mengontrol lingkungan hidup dan menggarap kekayaan alam demi manusia). Sejak revolusi industri hingga sekarang, terjadi dualisme mendalam antara manusia dan alam. Manusia dialami sebagai subyek aktif sedangkan alam sebagai unsur pasif. Kuasa manusia menaklukkan alam. Manusia dianggap sebagai pusat jagad raya. Filsafat hidup yang menonjol dalam teknologi modern ini menghasilkan tindakan manusia yang tanpa batas, utilitarianisme, tidak kenal kewajiban, dan budaya kematian. Keadaan lingkungan alam makin memprihatinkan : udara, air, ozon, tanah, hutan. Akibatnya muncul banyak bencana alam. Krisis lingkungan hidup tidak hanya mengancam hidup manusia, tetapi juga seluruh jaringan hidup yang ada di dalamnya. (William Chang : 2000)


Dari sudut pandang Kitab Suci dan Ajaran Sosial Gereja
Sebagai bagian dari keseluruhan jaringan, ia mempunyai tanggung jawab atas kelangsungan hidup jaringan itu sendiri. Selain dari logika biologis dan filosofis, tanggung jawab manusia atas alam semesta juga mempunyai dasarnya dalam Kitab Suci dan ajaran Gereja. Dalam hal ini mau ditegaskan bahwa permasalahan lingkungan hidup bukan sekedar masalah keberlangsungan alam semesta dan seluruh isinya, termasuk manusia di dalamnya. Namun menyangkut juga martabat manusia sebagai “citra Allah” yang diangkat menjadi pengelola dunia, bukannya penguasa dunia.

Kitab Suci 
Sebagai makhluk hidup yang diciptakan Allah, manusia bersatu dengan hewan dan tetumbuhan. Dalam Kitab Suci, Kesatuan manusia dengan makhluk lainnya mendapat perhatian khusus dalam kisah penciptaan. Sesudah ikan dan burung diciptakan pada hari kelima, maka pada hari penciptaan yang terakhir, binatang darat dan manusia diciptakan serentak (Kej 1:24-27). Secara khusus manusia disebut diciptakan ‘menurut gambarNya’ (Kej 1:27). Dalam kisah penciptaan dari tradisi yang lain, manusia bergaul dengan binatang dulu sebagai teman-temannya sampai ia mendapati bahwa kebutuhannya akan persekutuan tidak dipenuhi oleh mereka (Kej 2:18-20). Dalam bagian-bagian lain PL, di satu sisi ditekankan bahwa manusia dan hewan senasib (bdk Yun 3:7; 4:11; Tob 6:1), namun di sisi lain sekaligus juga diakui secara penuh perbedaan yang mendalam antara keduanya (bdk ayb 39:16-20). Meski demikian, dalam pandangan Kitab Suci, perbedaan tersebut tidak meniadakan kebersamaan manusia dan makhluk lainnya. Bahkan Nabi Yesaya menubuatkan zaman damai yang akan datang meliputi baik manusia maupun makhluk lainnya (Yes 65:25). (Nico Syukur, hlm 99-100)

Dalam Perjanjian baru, Yesus memperlihatkan kesukaan yang sehat akan kehidupan (bdk Mat 11:19). Ia memberikan kesaksian tentang sang Pencipta sebagai Bapa yang memperhatikan manusia dan hewan (Mat 6:25-35). Yesus mewartakan relasi kehidupan manusia yang sesuai dengan martabatnya sebagai ‘citra Allah’. (bdk Nico Syukur, hlm 47 dst) Warta tentang Keutuhan Ciptaan dalam Kitab Suci juga terkait dengan warta pokok Yesus Kristus : Kerajaan Allah (Mrk 1:15). Paulus mendeskripsikan Kerajaan Allah sebagai “bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus” (Rom 14:17). Kebenaran yang dimaksudkan Paulus ada dalam konteks relasi yang tepat dengan seluruh alam ciptaan. (John Fuellenbach :1995)

Ajaran Sosial Gereja
Paus Paulus VI, dalam suratnya yang disampaikan pada kesempatan Konferensi Bangsa-bangsa tentang lingkungan hidup manusia di Stockholm pada tahun 1972, menegaskan bahwa manusia dan lingkungan alamiahnya saling terpaut dan perlunya pembatasan dalam menggunakan kekayaan alam yang sama. Dalam Laborem Exercens (1981), JP II menyoroti masalah kerja manusia, perlunya pengelolaan tanah melalui kerja manusia sebagai peran serta manusia dalam karya pencipta, pentingnya di satu sisi kemajuan dunia dan di sisi lain perlindungan terhadap alam. Dalam Solicitudo Rei Socialis (1987), JP II menampilkan analisis baru mengenai krisis lingkungan hidup. Sementara dalam Centesimus Annus (1991), JP II kembali mengingatkan masalah lingkungan hidup dan ekologi yang kian berat. Jika disarikan, ada enam analisis JP II tentang masalah ekologi : (i) Seluruh keberadaan kosmos saling tergantung. Kesalingtergantungan ini membuat kita mengerti bahwa masalah ekologi adalah masalah global. (ii) Sumber-sumber alam sangat terbatas dan sejumlah sumber alam tidak dapat diperbarui. (iii) Kekayaan alam milik seluruh umat manusia dan bukan hanya kaum pemodal. (iv) Manusia bebas untuk mengalami perkemabngan manusia, antara lain melalui perkembangan ekonomi. (v) Masalah demografi adalah masalah rumit, karena terkait dengan masalah perendahan lingkungan, bertambahnya kelaparan, dan juga ekonomi.

Tanggung jawab manusia
Hidup ini sangat berharga karena Allah sendiri yang mengaruniakannya. Karunia itu tidak hanya diberikan pada masa lalu dan sekarang saja tetapi juga untuk masa depan. Karena itulah hidup perlu dilestarikan. Sebagai bagian dari alam semesta, manusia tidak bisa hidup tanpa peran unsur-unsur alam yang lain. Maka, mempertahankan atau membela kehidupan manusia berarti juga melestarikan seluruh jaringan ekosistem, termasuk di dalamnya hewan, tumbuhan dan yang lainnya. Sebagai citra Allah, kuasa yang diberikan Allah bukanlah agar ia menggunakan alam ciptaan sekehendak pribadi namun seperti Allah memelihara dunia. Ia diberi tanggung jawab sebagai pengelola (: steward) dunia.


Keanekaragaman hidup (biodiversity) hanya bisa dipelihara melalui pemahaman, kesepakatan dan keterlibatan seluas dunia

Dalam konteks keanekaragaman hayati, hidup harus disadari dalam kesalingterhubungannya (: interrelasionship) dengan seluruh ciptaan sebagai sebuah jaringan kehidupan, baik makhluk hidup maupun non-hidup (tanah, air, udara, dsb.). Manusia sendiri adalah bagian dari ekosistem itu. Ciptaan atau alam sebagai keseluruhan, bukan semata-mata sebagai sesuatu yang berguna bagi manusia, melainkan yang mempunyai nilainya sendiri. Karena itu, dewasa ini makin disadari bahwa masalah-masalah sosial kemanusiaan (kemiskinan, pengangguran, kelaparan, ledakan penduduk dll) itu tidak melulu bersifat sosial, melainkan juga terkait erat dengan kelestarian dan keseimbangan ekosistem. Itu semua bukanlah masalah pribadi, negara, wilayah, atau pun kelompok tertentu saja. Masalah itu adalah masalah global. Harus ada tanggung jawab dari semua pihak (Bdk. OA 21). Maka, pemeliharaannya pun harus meliputi pemahaman, kesepakatan dan juga keterlibatan seluas dunia. Ketiga hal itu menampakkan keutuhan cipta, rasa dan karsa seluas dunia.

Dengan pemahaman, berarti ada perubahan paradigma dalam memandang lingkungan hidup. Paradigma lama yang sangat antroposentik perlu diubah menjadi paradigma lingkungan hidup yang baru, yang menurut Joanna Macy, mengandung dua pokok pikiran utama, yaitu deep ecology dan penghijauan diri (Chang : 2000, 77 dst). Deep ecology bercakrawala pandang yang menyeluruh, menitikberatkan bahwa yang bernilai intrinsik adalah sistem keseluruhan organisme lingkungan hidup. Yang diperhatikan bukan hanya generasi sekarang, melainkan generasi mendatang. Sedangkan dengan penghijauan diri dimaksudkan tekanan pada pentingnya kesadaran akan diri manusia sebagai pribadi dan bagian dari alam semesta. Manusia berada bersama (: coexist) bersama makhluk ciptaan lainnya. Pemahaman ini bukan hanya milik kelompok tertentu saja, namun perlu adanya kesepahaman dan kesepakatan global. Hal ini membawa pada sikap dan keputusan-keputusan entah pribadi maupun bersama (lingkup kecil maupun besar) demi pemeliharaan jaringan kehidupan. Hal ini akhirnya membawa pada keterlibatan global, seluas dunia, dalam pemeliharaan hidup. Dengan demikian, berarti kita berbagi bumi dengan semua yang hidup. Hal ini membawa pada praksis seluas dunia, misalnya pembatasan pola kehidupan manusia dalam menggunakan tanah, udara, air, dan sumber daya alam.